Kudeta Indonesia 1965

Kudeta Indonesia 1965

Teori Soekarno sebagai dalang G30S

Teori dalang G30S yang kedua menyebutkan bahwa pihak yang bertanggung jawab atas peristiwa tersebut adalah Sukarno.

Teori Soekarno adalah dalang di balik peristiwa G30S salah satunya termuat dalam buku The Sukarno File, 1965-1967: Chronology of a Defeat (2006) oleh Antonie C.A. Dake. Presiden RI pertama itu disebut bertanggung jawab atas segala akibat yang terjadi dalam peristiwa berdarah G30S.

Buku Sukarno File itu memperoleh protes keras dari pihak keluarga Soekarno. Buku itu disebut sebagai upaya pembunuhan karakter terhadap Soekarno. Maka, untuk menyanggah gagasan tersebut, Yayasan Bung Karno meluncurkan buku Bung Karno Difitnah (2006).

Namun, teori dalang Gerakan 30 September yang menyebutkan nama Sukarno sudah tidak berlaku. Sejak 2003, ketika Ketetapan MPRS Nomor 33 Tahun 1967 dicabut, teori yang menyatakan Sukarno sebagai dalang G30S tidak berlaku.

Macam-macam Teori dalang Gerakan 30 September

Dalam sejarah versi Orde Baru, PKI disebut sebagai satu-satunya dalang di balik peristiwa G30S. Namun, banyak penelitian menyebutkan bahwa pelaku peristiwa G30S bukan pihak tunggal, yang kemudian cenderung membantah versi Orde Baru.

Siapa dalang dari pemberontakan G30S? Berikut beberapa teori dalang G30S 1965.

Teori dalang G30S 1965 yang melibatkan campur tangan Inggris

Teori dalang Gerakan 30 September juga menyeret pihak Inggris. Mereka dinilai berperan aktif menyebarkan propaganda penumpasan PKI dan memprovokasi pihak militer Indonesia melalui buletin dan pemberitaan.

Pada awal 1965, Ed Wynne, pejabat dari Departemen Penelitian Informasi Kementerian Luar Negeri (IRD), tiba di Singapura untuk memimpin sebuah tim propaganda rahasia. Sebagaimana diwartakan The Guardian, misinya adalah mendukung kepentingan Inggris di Indonesia dengan cara memengaruhi opini publik untuk menentang Presiden Sukarno dan PKI.

IRD berhubungan erat dengan MI6, dinas intelijen rahasia Inggris. IRD berfokus pada pembuatan propaganda anti-komunis untuk meruntuhkan rezim Sukarno, karena khawatir Indonesia akan jatuh ke tangan komunisme. Melalui kampanye propaganda hitam, Wynne dan timnya mendistribusikan buletin dan pamflet yang seolah-olah ditulis oleh para patriot Indonesia, yang menyerukan penghancuran PKI.

Latar belakang operasi ini adalah kebijakan "konfrontasi" yang dibuat Sukarno sebagai tanggapan atas rencana Inggris untuk membentuk Malaysia. Sikap anti-kolonial Sukarno dan hubungan dekatnya dengan Tiongkok membuatnya menjadi target kekuatan Barat, termasuk Inggris, yang takut Indonesia menjadi negara komunis.

Pada akhir September 1965, kelompok tertentu mencoba melakukan kudeta, menewaskan beberapa jenderal tinggi AD. Suharto, yang saat itu menjabat sebagai panglima AD, dengan cepat mengambil alih kekuasaan dan menumpas pemberontakan tersebut, juga menggunakan kudeta tersebut sebagai dalih untuk menghabisi PKI.

Keterlibatan Inggris semakin meningkat ketika tim propaganda Wynne mengambil kesempatan untuk mengobarkan sentimen anti-komunis di Indonesia. Buletin IRD, yang didistribusikan secara luas di kalangan elit politik dan militer Indonesia, mendorong tentara untuk bertindak melawan PKI.

Kementerian Luar Negeri Inggris menyangkal keterlibatannya dalam kekerasan tersebut. Namun, dokumen-dokumen yang telah dideklasifikasi mengungkapkan besarnya upaya propaganda Inggris.

IRD dan intelijen Inggris menyebarkan berita-berita sensasional tetapi palsu kepada media Indonesia. Salah satunya adalah klaim bahwa anggota PKI menyiksa para jenderal, untuk membenarkan penumpasan brutal tentara. Upaya-upaya ini terkait erat dengan tindakan militer Indonesia, yang menggunakan propaganda tersebut untuk melegitimasi pembunuhan massal terhadap anggota dan pendukung PKI.

Masih merujuk pada laporan The Guardian, dalam sebuah wawancara pada 1996, Norman Reddaway, salah satu anggota IRD, membanggakan upayanya memanipulasi media Inggris dan media global lainnya untuk menentukan prinsip anti-Sukarno dan PKI.

Bisnis.com, JAKARTA -- Gerakan 30 September 1965 atau yang dalam narasi resmi Orde Baru disebut G30S/PKI masih menyisakan banyak tanda tanya. Peristiwa ini telah mengubah lanskap politik Indonesia. Partai Komunis Indonesia atau PKI, partai komunis terbesar ketiga di dunia hancur lebur.

Robert Cribb, peneliti asal Australia, memperkirakan 500.000 hingga jutaan orang PKI atau yang dituduh PKI tewas dalam aksi pembantaian yang berlangsung massif di Jawa, Bali dan sejumlah wilayah Indonesia lainnya.

Sementara itu, Presiden Sukarno yang kadung mendeklarasikan sebagai presiden seumur hidup, tumbang dan digantikan oleh Jenderal Soeharto.

Ada banyak versi mengenai peristiwa tersebut. Versi pemerintah Orde Baru, tentu mengkambinghitamkan PKI sebagai aktor utama gerakan pembunuhan perwira tinggi TNI AD itu. Makanya dalam narasi resmi pemerintah Orde Baru, G30S dikasih embel-embel PKI jadi G30S/PKI.

Semua yang dilakukan oleh PKI dalam sejarah versi Orde Baru tidak pernah benar, selalu salah dari lahir sampai akhirnya dibubarkan. Tidak ada sejengkal pun aksi PKI yang dianggap baik oleh Orde Baru. Bahkan peristiwa perlawanan PKI 1926 di Sumatra Barat dan Banten yang konteksnya melawan hegemoni pemerintah kolonial Belanda dianggap sebagai suatu gerakan pemberontakan dan tidak heroik.

Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto dalam buku Sejarah Nasional Indonesia jilid ke 5 secara terang benderang menyebut peristiwa itu bukan sebagai perlawanan yang patut dibanggakan. Justru sebaliknya dua sejarawan pemerintah itu menuding peristiwa 1926 sebagai biang kerok represi pemerintah kolonial terhadap pergerakan nasional.

Padahal, jika mengacu kepada hasil riset Michel C Williams yang dibukukan dalam judul Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan PKI di Banten 1926, peristiwa di Banten dan Silungkang 1926 adalah sebuah fase sejarah yang cukup penting. Pemberontakan PKI di Banten dan Silungkang membuktikan bahwa Islam dan komunisme pernah bersatu dalam melawan hegemoni penjajah.

Sekadar catatan, motor perlawanan di daerah kedua daerah ini digerakkan oleh pemuka agama Islam, istilah lokalnya ya kyai. Silungkang di Sumatra Barat dan Banten adalah dua daerah yang memiliki akar tradisi Islam yang sangat kuat.

Di sisi lain, tokoh komunis Alimin juga memiliki versinya tentang terjadinya peristiwa hampir seabad silam itu. Alimin dalam artikel berjudul 'Analisis' bahkan menyebut peristiwa 1926 sebagai revolusi, tepatnya revolusi 1926. Dia mengklaim bahwa 'revolusi' 1926 adalah perlawanan bangsa pribumi pertama yang melibatkan ideologi modern yakni, Marxisme.

Revolusi 1926, tulis Alimin, bahkan menjadi pelopor revolusi-revolusi lain di tanah jajahan. Alimin secara spesifik menyebut revolusi di Indo-China baru terjadi pada 1927 dan kejadian-kejadian di Burma (kini Myanmar) 1926-1927 adalah yang kedua dan ketiga

"Revolusi 1926 adalah revolusi jang membuka djalan pertama menudju ke-Kemerdekaan Indonesia,"' tulis Alimin dalam tulisan itu.

Kritik Dalang Versi Orde Baru

Para sejarawan khususnya yang mengkritisi narasi sejarah resmi Orde Baru baik itu di Sejarah Nasional Indonesia (SNI) maupun  di buku putih Gerakan 30 September 1965 Pemberontakan Partai Komunis Indonesia: Latar Belakang Aksi dan Penumpasannya, berpendapat bahwa penambahan PKI di belakang G30S merupakan salah satu bentuk stigmatisasi PKI sebagai aktor utama gerakan yang dicap sebagai pemberontakan tersebut.

Stigmatisasi dan labeling PKI sebagai pengkhianat atau pemberontak, hanyalah suatu pembenaran terhadap aksi-aksi kekerasan dan diskriminasi terhadap orang yang dituduh sebagai PKI bahkan kepada anak turunannya.

Anak-anak PKI atau yang dituduh komunis, mengalami diskriminasi yang berlapis pada masa orde daripadanya Suharto. Sebagian dari ada yang menjadi yatim, piatu atau bahkan yatim piatu karena ayahnya menjadi korban pembantaian massal.

Selain itu, mereka juga harus menjalani screening atau penelitian khusus (litsus) saat ingin mendapatkan pekerjaan terutama yang berkaitan dengan negara. Mereka hidup serba terbatas dan sebagian mendapatkan pengucilan dari masyarakat.

Soal benar atau tidak PKI sebagai dalang, sampai sekarang masih kabur. Pasalnya, kalau merujuk kepada historiografi pasca Orde Baru, ada gelombang penelitian yang cukup massif baik dari kalangan sejarawan maupun korban untuk menghadirkan narasi sejarah alternatif.

Para peneliti maupun sejarawan, misalnya, mulai menghadirkan dokumen-dokumen penting yang selama Orde Baru 'haram' ditampilkan. Kalau dalam konteks pemikiran Paulo Freire, ada sebuah gerakan pembebasan pengetahuan, dalam historiografi pasca Suharto.

Hasil penelusuran tersebut kemudian memunculkan beragam versi tentang G30S, mulai dari keterlibatan CIA, kudeta merangkak Soeharto, konflik internal Angkatan Darat, hingga ekses dari perang dingin yang memanfaatkan kubu-kubu politik yang sedang bertikai.

Versi-versi alternatif itu memberikan gambaran yang lebih komprehensif untuk memahami G30S dari segala sisi. Soal benar atau tidak, sejarah lagi-lagi tidak dalam kapasitas sebagai hakim masa lalu. Semua versi memiliki nilai kebenarannya masing-masing. Yang jelas tidak ada kebenaran mutlak dalam sejarah.

Jean Francois Lyotard, seorang pemikir dari tradisi Postmodernisme, yakin betul bahwa narasi besar atau metanarasi sejarah perlu diabaikan, karena menurutnya narasi besar hanya sebuah akal-akalan yang cenderung mengungkapkan hasil akhir berupa politik otoritarian.

Bos tentara bayaran Wagner Yevgeny Prigozhin, yang tetap aktif meskipun gagal memimpin pemberontakan terhadap petinggi tentara Rusia pada bulan lalu, memuji kudeta militer Niger. Ia menyebut kudeta tersebut sebagai kabar baik dan menawarkan jasa pasukannya untuk menertibkan huru-hara di negara itu.

Pesan suara di aplikasi Telegram yang terkait dengan Wagner, yang mereka katakan sebagai Prigozhin, tidak mengklaim keterlibatannya dalam kudeta. Namun ia menggambarkan pemberontakan itu sebagai momen yang telah lama ditunggu-tunggu dari penjajah Barat. Ia juga menawarkan pasukannya untuk membantu menjaga ketertiban di negara itu.

"Apa yang terjadi di Niger tidak lain adalah perjuangan rakyat Niger dengan penjajah mereka. Dengan penjajah yang mencoba untuk memaksakan aturan hidup mereka kepada rakyat Niger dan kondisi mereka dan kondisi mereka dan membiarkan rakyat Niger berada dalam keadaan seperti Afrika ratusan tahun yang lalu ," kata pesan itu, diunggah pada Kamis (27/7) malam.

Suara tersebut memiliki intonasi dan gaya berbicara yang khas seperti bos Wagner, meskipun Reuters tidak dapat mengonfirmasi dengan pasti bahwa suara itu miliknya.

"Hari ini secara efektif (Niger) mendapatkan kemerdekaan mereka. Sisanya tanpa ragu akan bergantung pada warga Niger dan seberapa efektif pemerintahannya, tetapi yang utama adalah ini: mereka telah menyingkirkan penjajah," kata pesan itu.

Belum diketahui siapa yang bertanggung jawab atas kejadian di Niger setelah tentara pada Rabu (26/7) malam mengumumkan kudeta militer dan menahan Presiden Mohamed Bazoum di istana kepresidenan.

Negara itu, salah satu yang termiskin di dunia, tetapi juga menyimpan beberapa cadangan uranium terbesarnya, mendeklarasikan kemerdekaan penuh dari mantan penguasa kolonial Prancis pada 1960.

Pesan suara tersebut merupakan tanda terbaru bahwa Prigozhin dan anak buahnya tetap aktif di Afrika, di mana mereka masih memiliki kontrak keamanan di beberapa negara seperti Republik Afrika Tengah (CAR), dan bahkan ingin memperluasnya.

Prigozhin, 62 tahun, tampaknya masih menikmati kebebasannya meskipun Kremlin pada bulan lalu mengatakan ia harus pindah ke Belarus pasca gagal melakukan pemberontakan. Di negara tersebut, beberapa anak buahnya juga terlihat sudah mulai melatih tentara.

Dia terdengar dalam sebuah video yang dirilis pada awal bulan ini, mengatakan kepada anak buahnya di Belarus bahwa mereka harus mengumpulkan kekuatan mereka untuk "perjalanan baru ke Afrika."

Ada berbagai penampakan Prigozhin di Rusia sejak kesepakatan pasca-pemberontakan tercapai dan Kremlin mengatakan dia bahkan telah menghadiri pertemuan dengan Putin, yang sebelumnya menyebut pemberontakan yang gagal itu sebagai "tikaman dari belakang." [ah/ft]

Nationalgeographic.co.id—Peri laut Thetis membantu raja para dewa, Zeus dalam mitologi Yunani kuno saat dirinya dikudeta.

Ketika kudeta dimulai oleh dewa lain yang dipimpin oleh Hera, Poseidon, dan Athena, Zeus diikat ke tempat tidur dengan rantai yang tidak bisa dipatahkan sehingga dia bisa menuruti permintaan mereka.

Untungnya, Thetis membantu Zeus dengan memanggil Briareus untuk membantu membebaskan sang dewa dari belenggunya. Oleh karena itu, Zeus berhutang budi pada Thetis.

Bagaimana Thetis Mendapatkan Bantuan dari Zeus?

Dikutip Ancient Pal, Kudeta jarang terjadi di Gunung Olympus karena semua orang takut pada Zeus di mitologi Yunani kuno atas kehebatannya. Zeus sendiri dapat memenangkan seluruh jajaran Yunani dalam hal kekuatan, tetapi itu tidak berarti kudeta tidak terjadi sama sekali.

Zeus terus-menerus menindas dewa-dewa lain dengan otoritas dan kemampuan superiornya. Hal ini menimbulkan kemarahan banyak Dewa termasuk saudaranya, Poseidon, istrinya, Hera, dan putrinya, Athena.

Zeus berbalas budi dengan Thetis karena berhasil menyelamatkannya dari kudeta Hera di mitologi Yunani kuno.

Suatu hari, Hera berpikir untuk merekrut kekuatan dewa lain karena dia sendiri tidak bisa menggulingkan suaminya. Dia waspada terhadap perzinahan suaminya dan ingin memberi pelajaran kepada suaminya tentang kerendahan hati.

Dia mendapat dukungan dari Poseidon, yang membenci saudaranya karena memenangkan takhta di Gunung Olympus. Athena, yang membenci ayahnya karena menelan ibunya utuh.

Ketiga dewa tersebut kemudian berhasil mengumpulkan para Olympian lainnya yang ingin mengakhiri kesombongan Zeus. Rencana mereka sederhana namun efektif.

Mereka harus merantai Dewa dalam tidurnya saat berada di bawah pengaruh Hypnos, Dewa Tidur, untuk memastikan bahwa dia tidak terkejut. Raja para Dewa akan diikat dengan rantai yang tidak bisa dipatahkan dan dijauhkan dari senjatanya sebagai tindakan pencegahan.

Rencananya terlaksana dan Zeus terbangun karena bingung dengan posisinya. Para dewa menjelaskan situasi mereka saat ini dan Zeus yang sombong tidak melakukan apa pun selain menertawakan upaya mereka.

Dewa menyadari bahwa dia tidak bisa keluar dari penjara dan mengancam mereka dengan kehancuran.

Untungnya bagi Zeus, bidadari laut Thetis mendengar rencana tersebut jauh sebelumnya dan meminta bantuan Briareus untuk membantu membebaskan dewa dari rantainya. Para dewa menurutinya ketika mereka melihatnya.

Apa yang Terjadi Setelah Zeus Dibebaskan?

Seperti yang dijanjikan, Zeus akan menghukum sebagian besar dewa yang memimpin kudeta, bukan dewa yang hanya mengeluh. Tiga dewa utama yang akan menerima hukuman adalah Hera, Poseidon, dan Apollo.

Poseidon dan Apollo diusir dari Gunung Olympus selama setahun dan harus mengabdi pada manusia fana, Raja Laomedon dari Troy, untuk mendapatkan upah layak. Mereka juga bertanggung jawab untuk membangun tembok yang tidak dapat ditembus yang akan mencegah Troy direbut selama 10 tahun selama perang.

Hera mengalami hal terburuk saat dia merasakan kemarahan penuh Zeus karena memimpin kudeta. Zeus menggunakan rantai yang sama dengan yang dia miliki untuk mengikatnya dari langit.

Sebuah landasan digantung di kakinya untuk membebaninya. Dia berada dalam kesakitan yang luar biasa dan baru dibebaskan setelah para Olympian dan dirinya sendiri memohon kepada Zeus untuk membebaskannya, bersumpah untuk tidak pernah lagi memberontak melawannya di mitologi Yunani kuno.

Athena, sebagai anak kesayangan Zeus, dilepaskan tanpa hukuman, sehingga membuat kecewa para dewa lainnya. Thetis kemudian mendekati Zeus dan memberitahunya tentang keterlibatannya dalam pembebasannya.

Kemudian akan memberikan bantuan kepada Thetis yang nantinya akan dia gunakan untuk kemajuan putranya Achilles, pahlawan Perang Yunani selama Perang Troya.

Zeus Membalas Bantuannya kepada Thetis di Mitologi Yunani

Selama Perang Troya, wabah melanda bangsa Akhaia, Yunani, yang dibawa oleh dewa matahari, Apollo. Dia menuntut kembalinya Chryseis, putri salah satu pendetanya, yang merupakan hadiah perang Agamemnon, pemimpin tentara Yunani selama perang.

Kecewa dan ingin menjaga harga dirinya terhadap pasukannya, Agamemnon mengembalikan Chryseis kepada ayahnya tetapi mengambil Briseis, hadiah perang Achilles, sebagai miliknya. Tindakan ini sangat mempermalukan pahlawan perang dan dia segera menarik seluruh pasukannya sebagai pembalasan.

Achilles marah terhadap sikap tidak hormat ini dan berdoa kepada ibunya untuk meminta balasan dengan membujuk Zeus untuk membuat orang Akhaia kalah dalam pertempuran sehingga Agamemnon akan melihat kesalahannya dan menyesali sikap tidak hormatnya terhadap pahlawan perang.

Thetis menemui Zeus dan mengingatkannya akan kebaikan yang Tuhan berikan padanya. Zeus tidak punya pilihan selain menurutinya karena dia, sebagai Raja para Dewa, harus menepati janjinya, apa pun permintaannya. Zeus kemudian mengirimkan mimpi kepada Agamemnon dengan perasaan kemenangan yang tertipu.

Dia diberitahu oleh Raja para Dewa akan memenangkan perang melawan Trojan jika dia memimpin serangan besar-besaran terhadap tembok Troy. Bagi orang lain, rencana ini sama bodohnya dengan sebelumnya, tetapi Raja menurutinya karena dia mengira para Dewa ada di pihaknya.

Thetis adalah salah satu karakter mitologi Yunani yang kurang terkenal. Ia paling dikenal berkat perannya sebagai ibu Achilles, sang pahlawan terhebat.

Sebelumnya, dia ingin menguji tentaranya dengan meminta mereka berkemas dan pulang, berharap mereka menolak. Sayangnya, anak buahnya menuruti permintaannya dan mulai mundur dari pertempuran.

Untungnya, sebagian tentara tetap bertahan dan bertempur setelah diyakinkan oleh Odysseus. Odysseus dan pasukannya berhasil memenangkan perang melawan Troy dengan bantuan para Dewi, Hera dan Athena.

Tidak mudah untuk mendapatkan bantuan dari Zeus, tapi Thetis berhasil melakukannya dengan membantunya pada saat dia membutuhkan. Kudeta dilakukan di Olympus yang akan menyebabkan jatuhnya Zeus.

Meskipun Hera, Athena, dan Poseidon berhasil membuat rencana untuk menahan Zeus, Thetis berhasil mengetahui rencana tersebut dan merekrut bantuan Briareos untuk menyelamatkan Raja para Dewa dari pengekangannya.

Para Dewa yang memberontak melawan Zeus dihukum, kecuali Athena, dan Thetis mendapatkan bantuan dari Zeus yang pada akhirnya akan digunakan untuk membantu putranya, Achilles, mendapatkan kembali kehormatannya sebagai pahlawan perang.

Zeus membalas kebaikannya dengan mengirimkan mimpi kepada Agamemnon, pemimpin Yunani selama Perang Troya, menjanjikannya kemenangan palsu. Hal ini mengakibatkan mundurnya pasukan Yunani sepenuhnya meskipun pahlawan, Odysseus, berhasil meyakinkan sebagian tentara untuk tetap tinggal dan berperang.

78% Daratan di Bumi Jadi Gersang dan Tidak akan Pernah Basah Kembali

tirto.id - Peristiwa Gerakan 30 September (G30S) 1965 tercatat sebagai sejarah kelam yang terjadi di Indonesia. Hampir semua orang di Indonesia, termasuk yang tinggal di daerah terpencil, mengetahui bahwa pada masa itu terjadi penahanan dan pembunuhan massal.

G30S di Jakarta membawa dampak kematian tujuh perwira TNI-AD. Enam di antaranya merupakan jenderal yang cukup berpengaruh dalam pemerintahan RI yang dipimpin oleh Soekarno.

Satu orang perwira lainnya yaitu Kapten Pierre Tendean, ajudan Jenderal Abdul Haris Nasution. Selain itu, ada Bripka Karel Sadsuit Tubun, pengawal kediaman resmi Wakil Perdana Menteri II dr.J. Leimena juga tercatat sebagai korban dalam peristiwa G30S.

Pembunuhan terhadap perwira TNI-AD juga terjadi di Yogyakarta, menewaskan Kolonel Katamso dan Letkol Sugijono. Banyak yang menyebut dalang G30S PKI adalah kelompok kiri Partai Komunis Indonesia, meskipun belum ada bukti yang jelas. Lantas, siapa dalang Gerakan 30 September 1965 sebenarnya?

G30S akibat dari konflik internal Angkatan Darat (AD)

Teori dalang Gerakan 30 September yang menyebut pihak PKI dibantah oleh sejarawan terkemuka Benedict Anderson. Karya-karyanya tentang Indonesia secara tegas menentang rezim Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun, khususnya terkait narasi tentang peristiwa 1965.

Pada 1971, Anderson bersama Ruth McVey menulis buku tentang analisis peristiwa G30S 1965 berjudul A Preliminary of the October 1, 1965 Coup In Indonesia atau yang dikenal dengan Cornel Paper.

Teori dalang G30S 1965 dalam Cornel Paper menawarkan argumen lain bahwa peristiwa yang terjadi pada 1 Oktober 1965 merupakan akibat dari pertikaian internal di dalam militer. Hal itu secara khusus dipicu oleh konflik antara perwira dari Komando Angkatan Darat Diponegoro di Jawa Tengah.

Anderson menjelaskan, dengan menyebarkan informasi bahwa dalang di balik G30S 1965 adalah PKI, Soeharto bisa memanfaatkannya untuk membawa militer ke tampuk kekuasaan. Pada akhirnya pun Soeharto memimpin tindakan penghancuran yang kejam terhadap PKI, lalu menggantikan Soekarno sebagai presiden.

Karena dianggap menyebarkan informasi salah kaprah dan menolak teori dalang G30S PKI bikinan pemerintah, rezim Soeharto mengategorikan Cornell Paper sebagai buku yang haram dibaca. Anderson pun tak diperbolehkan masuk ke Indonesia. Larangan tersebut baru dicabut saat Habibie menggantikan Soeharto sebagai presiden pada 1999.

Saat kembali ke Indonesia, Anderson masih melanjutkan penelitian terkait dalang G30S 1965. Setelah menulis peran elit militer dalam Cornell Paper, dia menyorot para prajurit yang terlibat.

Anderson melakukan wawancara panjang dengan Mayor Sersan Bungkus, salah seorang penculik dalam peristiwa G30S. Wawancara itu juga dilakukan bersama Arief Djati, yang kemudian dipublikasikan dalam jurnal berjudul The World of Sergeant-Major Bungkus: Two Interviews with Benedict Anderson and Arief Djati (2004).

Teori PKI sebagai sebagai dalang G30S

Teori dalang di balik G30S yang pertama adalah teori yang menyebutkan bahwa pihak yang bertanggung jawab atas Jumat subuh kelabu itu hanyalah PKI.

Salah satu sejarawan yang menyebut PKI sebagai dalang di balik G30S 1965 yakni Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh, melalui bukunya berjudul Tragedi Nasional percobaan KUP G 30 S/PKI di Indonesia (1968). Buku ini juga menjadi referensi dalam pembuatan film Pengkhianatan G30S/PKI yang digarap Arifin C. Noer.

Nugroho Notosusanto, putra dari ahli hukum Islam Profesor Notosusanto, bisa disebut sebagai tulang punggung penulisan sejarah versi Orde Baru. Pihak yang pertama kali menunjuk Nugroho bertugas di Pusat Sejarah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Pusjarah ABRI) adalah Mayor Jenderal Abdul Haris Nasution.

Peristiwa G30S 1965 disebutnya sebagai upaya kudeta oleh PKI dengan memanfaatkan unsur-unsur militer. Dalam narasi Orde Baru, perebutan kekuasaan ini telah direncanakan sejak PKI menjadi partai terbesar keempat dalam Pemilihan Umum 1955.

PKI disebut telah membentuk Biro Khusus pada 1964 untuk melakukan pematangan situasi sekaligus menyusun kekuatan, tidak terkecuali di bidang militer. Dalam aksi kudeta ini, Dipa Nusantara (D.N.) Aidit berperan sebagai pemimpin G30S PKI, Sjam Kamaruzzaman selaku pemimpin pelaksana, Pono sebagai wakil pemimpin, dan Bono bertugas sebagai pemimpin observasi.

Selain itu, Sekretariat Negara Republik Indonesia juga merilis buku berjudul Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia: Latar Belakang, Aksi, dan Penumpasannya (1994). Dalam kata pengantarnya, buku tanpa nama penulis itu berstatus sebagai “Buku Putih”.

Penyebutan tersebut diartikan sebagai sikap resmi sebuah institusi, dalam hal ini peristiwa G30S PKI. Dengan mencantumkan "PKI", Orde Baru menyebut bahwa PKI merupakan dalang dari G30S PKI.

Penyebaran informasi terkait teori dalang G30S PKI bersifat terpusat dan masif. Alhasil, teori dalang di balik G30S 1965 ini dengan mudah menyebar hingga ke buku pelajaran Sejarah di sekolah. Salah satunya adalah buku terbitan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2014 dengan pembahasan Gerakan 30 September 1965 (G30S/PKI).

Tidak ada pelaku tunggal peristiwa G30S

Teori dalang G30S 1965 lainnya adalah teori yang menyatakan bahwa tidak ada pelaku tunggal dalam peristiwa kelam tersebut. Teori ini dijelaskan dalam

oleh Soekarno. Pidato itu disampaikan untuk memberikan pertanggungjawaban kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) terkait G30S sebelum digulingkan dari kursi presiden.

Dalam pidato tersebut, Soekarno menganggap bahwa peristiwa G30S disebabkan oleh unsur-unsur Neokolonialisme-Kolonialisme-Imperialisme (Nekolim). Hal itu kemudian ditunjang oleh keblingeran pimpinan PKI serta adanya oknum yang tidak bertanggung jawab.

Dua pleidoi Soekarno itu ditolak oleh MPRS. Pada 12 Maret 1967, MPRS mengumumkan secara resmi pencabutan mandat Soekarno sebagai presiden. Kemudian, Soeharto ditunjuk untuk menggantikan jabatan tersebut.

Jalannya Pertandingan

Pertandingan babak pertama berlangsung dengan intensitas tinggi meski diguyur hujan deras sejak awal laga. Kedua tim pun saling jual beli serangan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

PSIM unggul cepat lewat gol Muammar Khadafi pada menit ke-5. Dia melesatkan tendangan jarak jauh yang sulit ditepis kiper lawan. Skor 1-0 untuk keunggulan tuan rumah bertahan hingga turun minum.

Memasuki babak kedua, PSIM melakukan pergantian pemain yakni Lucky Octavianto keluar digantikan Ghulam Fatkur Rahman. Begitu juga dengan Persipa yang menarik keluar Rifai Marsi digantikan Ali Koroy.

Persipa bermain lebih menekan jika dibanding babak pertama tadi. Tim tamu mendominasi serangan dan cukup membuat kesulitan barisan pertahanan PSIM.

Berbeda dengan PSIM yang cukup kesulitan membangun serangan. Persipa mendominasi bola hingga menit ke-60.

Peluang emas PSIM terjadi pada menit ke-63. Tendangan keras Arlyansyah yang berdiri bebas di depan gawang mampu dipatahkan kiper Persipa.

Pertandingan berlangsung seru. Kedua tim saling jual beli serangan. Namun, PSIM memang lebih dominan jelang menit-menit akhir,

Peluit panjang tanda berakhirnya laga dibunyikan wasit. PSIM sukses ambil tiga poin usai mengalahkan Persipa Pati dengan skor 1-0.

Hasil ini mengantarkan PSIM ke posisi puncak klasemen sementara grup tengah menggeser Bhayangkara FC. Laskar Mataram di posisi teratas dengan mengemas 25 poin, diikuti Bhayangakara FC dan Persijap Jepara dengan 24 poin.

PSIM Jogja: Harlan Suardi (GK); Rio Hardiawan Yusaku Yamadera, Sunni Hizbullah (C), Samuel Simanjuntak, Savio Sheva, Ghulam Fatkur (46'), Muammar Khadafi, Arlyansyah, Arya Gerryan, Irvan Mofu (55').

Persipa Pati: Tedi Heri (GK); Jimmy Julianus, Mirkomil Lokaev, Made Oto, Andre Pangestu, Azis Briantoro (68'), Mateo Palcios, Basajum Laticonsina (68'), Roger Bichario (82'), Saldy Ahmad, Ali Koroy.

Nationalgeographic.co.id—Geger 1965 berimbas pada kehidupan sosial masyarakat kelas bawah. Para tertuduh PKI hingga anak-cucunya, dicap sebagai perampok dan pembunuh oleh masyarakat. Peri Sandi Huizche menggubah puisi yang menyayat hati berjudul Mata Luka Sengkon Karta, berkisah tentang rentetan peristiwa kelam dalam sejarah Indonesia.

Aku seorang petani Bojongsari

Menghidupi mimpi dari padi yang ditanam sendiri

Kesederhaan panutan hidup

dapat untung dilipat dan ditabung

Demikian salah satu bait dalam puisi Peri Sandi. Ia menuliskannya dalam buku kumpulan esai, berjudul Mata Luka Sengkon Karta, yang diterbitkan oleh PT. Jurnal Sajak Indonesia pada 2013.

Sengkon dan Karta merupakan dua tokoh dari kisah nyata yang pernah terjadi di negeri ini. Mereka tinggal di Bojongsari, salah satu desa terpencil di Bekasi. Di bait-bait pertama, puisinya mengisahkan tentang petani yang berupaya mencukupi kebutuhan hidupnya secara susah payah.

Akulah Sengkon yang sakit

berusaha mengenang setiap luka

yang berlapis tuberkulosis

Di zaman yang serba rumit itu, seorang petani yang bernama Sengkon, susah payah untuk mencari penghasilan. Apalagi, ditambah dengan kondisi yang menuntutnya bergelut dengan penyakit tuberkulosis yang di idapnya.

Waktu itu, tahun 1974, menjadi latar dimulainya kisah yang menggores luka. Sengkon mengingat masa-masa dalam hidupnya melalui luka dan darah yang keluar dari tubuhnya.

Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Traveler

Sebuah penanda sejarah tertanggal 25 Desember 1965, yang merupakan tanda terima kasih RPKAD kepada UGM yang telah membantu menumpas Operasi Gestapu/PKI di Djawa Tengah. Belakangan, piagam ini mengingatkan publik ketika mengenang 50 tahun peristiwa pembantaian besar-besaran di Indonesia.

yasin dilantunkan dengan hidmat

bintang-bintang berdzikir di kedipannya

Istriku masih mengenakan mukena

mengambilkan minum dari dapur

Di kejauhan terdengar warga desa gaduh

'adili si keluarga rampok itu'

'ya… usir dari kampung ini'

'bakar saja rumahnya'

Rasa bingung menyelimuti keluarga miskin itu. Apa yang sesungguhnya terjadi?

'Demi Allah saya tidak berbuat jahat!'

Lantas, kemudian Sengkon keluar, menghampiri warga dan aparat yang telah berkerumun di pekarangan rumahnya.

Baca Juga: Terbuangnya Generasi Intelektual Indonesia Setelah Peristiwa 1965

Perpustakaan Nasional Indonesia

Militer mengumpulkan warga yang diduga terkait Partai Komunis Indonesia dan oragnisasi di bawahnya, Desember 1965. Peristiwa seperti ini menjamur di Jawa dan Bali pasca-Geger 1965.

aku masih diselimuti kebingungan

disambut rajia seluruh badan

Kepalaku ditodong senjata laras panjang

mendekati puluhan ABRI dan Polisi

aku dikerumuni pukulan warga

ikut-ikutan menendang

Peri Sandi menggambarkan luapan kemarahan warga. Tak ada rasa kasihan dan peri kemanusiaan yang bisa menolong tubuh ringkih Sengkon. Seluruh perkataan keji terlontar kepadanya.

Sialan kamu, saudara saya (Solaeman) meninggal gara gara kamu, celetuk warga dalam penggambaran Peri Sandi. Sengkon tidak hanya dikatai rampok, tetapi juga dia dituduh sebagai pelaku pembunuhan Solaeman, salah satu warga yang kaya di desa Bojongsari.

Aku terkapar di tanah

seorang ABRI menggusurku

darah dan becek tanah bercampur di tubuh

Aku dilemparkan ke atas bak mobil

kondisi diantara sadar atau tidak

sesosok tubuh dilemparkan ke bak mobil

Ada sebagian tubuh yang menindih

kuperhatikan wajah yang penuh luka itu

Baca Juga: Soe Tjen Marching: Pemerintah Harus Akui Pemerkosaan Tionghoa 1965

Sengkon dan Karta disiksa lalu ditangkap dengan tuduhan perampokan juga pembunuhan. Berdasar kesaksian warga, Sengkon dan Karta meminjam uang kepada Solaeman, yang dikenal sebagai orang kaya di daerah tersebut.

Namun, mereka selalu mendapatkan perlakuan yang tidak baik karena perbedaan status ekonomi. "Mungkin karena sering diperlakukan tidak baik oleh Solaeman, warga menuduh mereka yang membunuh dan merampok hartanya," tulis Rully Adriansyah dan Tanti Agustiani.

Mereka menafsirkan bait demi bait, sajak indah yang menyayat, karya Peri Sandi Huizche dalam tulisannya yang dimuat pada jurnal Imajeri: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Tulisannya berjudul Representasi Konteks Sejarah dalam Puisi Esai Mata Luka Sengkon Karta, terbit pada 2020.

Dipa Nusantara Aidit (1923-1965), seorang Ketua Central Committee Partai Komunis Indonesia, tengah berpidato. Pergaulan dengan buruh yang menentukan jalan dan sikap politiknya hingga akhirnya memimpin PKI.

"Negeriku, waktu itu masih dirundung rasa cemas, segala kejahatan dianggap golongan kiri (PKI)," tulis mereka.

Selain keadaan ekonomi yang rumit, ditambah dengan kondisi anak Karta yang jatuh sakit. Mau tak mau ia harus meminjam uang kepada Solaeman. Sedangkan, Sengkon mendapatkan cacian dari warga dan mendapat julukan golek beureum karena ia keturunan dari keluarga rampok.

"Aku bukan penjahat! aku bukan sedang menggugat! di tahun ini bicara jujur malah ancur, membele sedikit dianggap PKI, diam tak ada jawaban, tak ada pilihan," sajak Peri Sandi tentang kebimbangan sosok Karta. Saat itu tengah terjadi krisis sosial. Orang yang keras dengan pemerintahan, maka akan dianggap golongan kiri atau PKI, begitu juga dengan para pembunuh dan perampok.

Gunel Siih yang mengetahui bahwa saudaranya, Sengkon, telah dihukum, kemudian menggerutu. "Yang benar tapi disalahkan, Aku salah tapi lolos dari hukum". Kesaksian itu mengungkap bahwa sebenarnya Sengkon dan Karta belum terbukti atas tuduhan-tudahan itu.

Baca Juga: Misteri Hilangnya Lukisan Karya Kartini Saat Pusaran Geger 1965

Mahasiswa dengan foto Sukarno yang dijarah dari sebuah toko milik seseorang yang dianggap komunis pada 1965.

"Krisis sosial dan kemanusiaan, tak pelak mendorong pemerintah untuk menutup mata dan telinga. Mereka tak melakukan investigasi lebih lanjut, malah secara gegabah menjatuhkan vonis kepada Sengkon dan Karta," pungkas Rully dan Tanti.

Beruntung, ada sosok Gunel yang terus menggerutu. Dibantu dengan Abert Hasibuan, seorang pengacara yang  mengupayakan peninjauan kembali terhadap kasus pembunuhan Solaeman.

Atas kasus Sengkon dan Karta, Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 1980 mengenai Peninjauan Kembali yang menjadi dasar melakukan upaya hukum luar biasa dalam KUHAP Republik Indonesia saat ini.

Pada Akhirnya Sengkon dan Karta dibebaskan dengan upaya hukum peninjauan kembali. Mereka akhirnya dibebaskan dari penjara pada Januari 1981 karena terbukti tidak bersalah, meski telah mendekam sekitar tujuh tahun di penjara.

Baca Juga: Gerakan Perlawanan Haji Misbach: Islam Merah dan Komunis Hijau

Mars Terus 'Menarik' Bumi ke Arah Matahari, Apa Dampaknya bagi Kita?

TRIBUN-TIMUR.COM - Daftar jenderal polisi bintang empat mulai tahun 1965 sampai 2024.

Kini sosok jenderal purnawirawan bintang empat menjadi sorotan setelah Densus 88 ketahuan mengintai Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung, Febrie Adriansyah.

Sosok jenderal purn bintang empat disebut inisial B.

Jenderal Purn Inisial B diduga dalang pengintaian anggota Densus 88 terhadap Febrie Adriansyah.

Meski sudah pensiun sebagai anggota Polri, namun Jenderal B masih punya pengaruh besar.

Jenderal B tak senang saat kasus korupsi timah di Bangka, dibongkar Kejaksaan Agung.

Dalam kasus korupsi timah tersebut, sebanyak 16 orang telah ditetapkan sebagai tersangka.

Baca juga: Terungkap Sosok Jenderal Purn B Diduga Dalang Pengintaian Densus 88 ke Jampidusus, Bos Korupsi Timah

Baca juga: Sosok Febrie Adriansyah Jampidsus Dilapor ke KPK Usai Diintai Densus 88, IPW Duga Negara Rugi Rp9 T

Para tersangka dinilai telah bersama-sama korupsi timah dan merugikan negara hingga Rp 271 triliun.

Kini beredar kabar bahwa di balik 16 tersangka, ada seorang jenderal purnawirawan turut terlibat melindungi tambang ilegal di Bangka.

Bahkan jenderal purn ini menyuruh anggota Densus 88 untuk membuntuti Jampidsus, Febrie Adriansyah.

Sosok Purnawirawan bintang empat pertama kali berinisial B diungkap oleh Sekretaris Pendiri Indonesia Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus.

Namun, Iskandar tak menjelaskan dengan detail siapa sosok tersebut.

Dia hanya mengatakan, bintang 4 itu pensiunan aparat berseragam.

Di dalam institusi kemiliteran dan kepolisian, bintang 4 merujuk pada pangkat Jenderal.

TRIBUN-TIMUR.COM - Deretan jenderal polisi bintang empat mulai tahun 1965 sampai 2024.

Sosok jenderal purnawirawan bintang empat jadi sorotan setelah Densus 88 ketahuan mengintai Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung, Febrie Adriansyah.

Sosok jenderal purn bintang empat disebut inisial B.

Dalam daftar jenderal bintang empat, ada beberapa orang memiliki nama awalan B.

Jenderal Purn Inisial B diduga dalang pengintaian anggota Densus 88 terhadap Febrie Adriansyah.

Meski sudah pensiun sebagai anggota Polri, namun Jenderal B masih punya pengaruh besar.

Jenderal B tak senang saat kasus korupsi timah di Bangka, dibongkar Kejaksaan Agung.

Dalam kasus korupsi timah tersebut, sebanyak 16 orang telah ditetapkan sebagai tersangka.

tersangka dinilai telah bersama-sama korupsi timah dan merugikan negara hingga Rp 271 triliun.

Kini beredar kabar bahwa di balik 16 tersangka, ada seorang jenderal purnawirawan turut terlibat melindungi tambang ilegal di Bangka.

Bahkan jenderal purn ini menyuruh anggota Densus 88 untuk membuntuti Jampidsus, Febrie Adriansyah.

Sosok Purnawirawan bintang empat pertama kali berinisial B diungkap oleh Sekretaris Pendiri Indonesia Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus.

Namun, Iskandar tak menjelaskan dengan detail siapa sosok tersebut.

Dia hanya mengatakan, bintang 4 itu pensiunan aparat berseragam.

Teori dalang G30S adalah Suharto

(2018) karya Jess Melvin, militer Indonesia yang dipimpin oleh Soeharto telah lama merencanakan kudeta. Mereka kemudian bekerja sama dengan Amerika Serikat karena memiliki kepentingan anti-komunis yang sama. Berdasarkan buku itulah ditemukan teori dalang G30S PKI bukanlah pihak PK, melainkan militer pimpinan Suharto.

Pada 1965, ketegangan meningkat ketika Presiden Soekarno mengusulkan adanya Angkatan Kelima yang mengancam dominasi militer. Meskipun militer awalnya berniat menunggu Soekarno mundur, perkembangan ini mendorong mereka untuk bertindak lebih cepat, menggunakan kampanye Ganyang Malaysia sebagai dalih untuk konflik.

Di malam kelam 30 September 1965, enam pemimpin militer tertinggi terbunuh, tetapi Suharto dengan cepat mengisi kekosongan kekuasaan. Terlepas dari kekuasaan Sukarno, Suharto tetap memegang kendali atas pasukan militer utama, seperti Kostrad dan RPKAD, dan mengambil alih kepemimpinan KOTI.

Menurut buku karya Jess Melvin, terdapat bukti-bukti baru bahwa Suharto secara aktif mengonsolidasikan kekuasaannya sejak awal, mengirimkan telegram kepada para komandan militer dan menginstruksikan untuk mengikuti perintahnya.

Pada 3 Oktober, ia mengumumkan darurat militer di Jakarta dan mulai menuntut sumpah setia dari para pemimpin militer di seluruh negeri. Gerakan cepat Suharto memungkinkannya untuk menegaskan dirinya sebagai pemimpin yang tak terbantahkan, mengalahkan Sukarno.

Militer segera memulai pembunuhan massal di bawah arahan Suharto, menggunakan berbagai rantai komando untuk mengoordinasikan kekerasan, penghilangan paksa, dan pembunuhan di seluruh Indonesia.

Peran Suharto dalam kudeta ini sangat sentral dan terencana, menggunakan dalih G30S PKI sebagai katalisator pengambilalihan kekuasaan yang telah lama direncanakan oleh militer. Kekerasan yang terjadi kemudian berfungsi untuk mengukuhkan kekuasaan militer dan meneror penduduk agar tunduk, menandai dimulainya rezim Orde Baru.

%PDF-1.6 %âãÏÓ 53 0 obj <> endobj xref 53 33 0000000016 00000 n 0000001366 00000 n 0000001429 00000 n 0000001680 00000 n 0000001832 00000 n 0000002580 00000 n 0000003113 00000 n 0000003846 00000 n 0000004017 00000 n 0000004526 00000 n 0000004704 00000 n 0000004969 00000 n 0000005229 00000 n 0000005508 00000 n 0000005608 00000 n 0000005873 00000 n 0000008159 00000 n 0000010206 00000 n 0000012122 00000 n 0000014022 00000 n 0000016021 00000 n 0000017910 00000 n 0000019817 00000 n 0000021617 00000 n 0000047485 00000 n 0000067795 00000 n 0000092571 00000 n 0000099165 00000 n 0000119939 00000 n 0000120211 00000 n 0000126951 00000 n 0000127230 00000 n 0000000956 00000 n trailer <<88741D2C47F57C4298DFD38BDB9B6FFE>]>> startxref 0 %%EOF 85 0 obj <>stream xÚb```¢ß¬ÿ@��(ÊÂÀqƒ‰�"ô1£Qò@Cƒ¹ÿJ½æ>Fn†ðý†„8¸:Xgü~·zïª7ÀÍàr[¤uëUÁÖ(÷W·~8Lq]R—˜�ý�)P"ô�ë&Z¿öC£F÷'÷èX¦@±‰¶nq=^g/ðRºduëÐ ÝÖµë[8]âW—pºDsM¼výÐÐ],Wt¯]±¦è� Álܤ…ÀPH°€dM#@ ¶ œ`)cb&�@H°£��G�Šô˜®=Òr@¬ vE2?£Ãi!†³þŒ>L-¬D)>Ç.É'$»ÁüC!Õ�Zé•R�ö;ó°fÎk`8ÀÀðd&L/Ò�4#¿0 Wûs® endstream endobj 54 0 obj <> endobj 55 0 obj <> endobj 56 0 obj <>/ProcSet[/PDF/Text]/ExtGState<>>> endobj 57 0 obj <> endobj 58 0 obj <> endobj 59 0 obj <> endobj 60 0 obj <> endobj 61 0 obj <> endobj 62 0 obj <> endobj 63 0 obj <> endobj 64 0 obj <> endobj 65 0 obj <> endobj 66 0 obj <> endobj 67 0 obj <> endobj 68 0 obj <>stream H‰œWÙn#¹}÷WðQ$víKž"� ·§ÛÝF[@Ìä�RQ]kŠUÖè7úa>/ù•œËZT’:È$0,•$’w;çÜË�¯Ûé›»Õ͇ÕÊa6[mol›YøÛo[<æܱB¶Êo,¶ÃÿjC/‡›™íß®ÞhkÐoµº­´ÛãŽë²0ŒxèD>mž­T*Ø«xWM­æìù š½ªÍwr-vB±gÑÈZ±•È×b/ v/2‘³g™W2o?½J¼‰=³ãÀØ~XÝØðéÃã«M�ø½ˆ…~Ìã0d^èq×µ™q;tY-o¶´tsÜ;îvŽ»Ìv,nG.‡V0={þërõñéÛÓ§e²×í¹Æ>ö®îofìõánù¸|bÏËÕ÷'¶Z>ß-?.¿°ûåçå3£�›ûëcv<¿<|^þ¼Äê×¼-?Ž±MÜKâÀ-× X`G¨Ip•Ö~__ÊEÄÝØrNæ^e¾n‹#R,ûX¶Z²ßÙE á`ÎS‘ÈJâ¥hØ7©¥¨7{Y_˜ðyÅ ¼Ñ�3¶ý—].TÆ7e~žµà8�ÍͶåÝëêÛò§Õ…7Öxð‚# oæZ´$à^_´î)ò¸D!ó} ŽMbš=­<%/*‚Èc¾ñ¸K�Jçn~™±r|U r$kö\¾Ë‘ÏYY³GY‹€t­É U˜R±ƒÐ¬,$moöb½—Éí±fìöï«Ÿ©ê¡œêέÈñ:«yIV4�F»7e[ksÖ^馬�ôˆBÀ€V‚³Ö4µ(´jT‰-¥ÙõEØ×:�SÛºÌ髉ñÕŸ`ωú(¿fI¿T‰Ù,ß�º­ë²-Uì˜j˜¨%K$R�0]2•WeÝ ¡Ù‹Æl»—•¨r.^š³-×(ÄCÒn„ñ”¬ýÔfM‹sU±ÉÚDj²£Š>Ò••2µ�Њ;0NTçŸçá®mÙÝ¢#£}Õx¶Q"c¨6mÖ"A¢ÝícÃþöôÄvµH$ÓMKH×|Z7øàGö¤n–c']ëuÌà¦,.|;½À¿rý_—®;×®÷Œë.g¦6¨Ž0µ1ÖŽ b‡<ªQ…Ÿ‘Ó„ „–U£r GmX£½™J%lW–g€ŒÀœp ŒÂ4fuS·»]˜•Q'0ÍÖ²¦Y”�„È ÉÊŠªÏÙ׺%^jÝNæì@(Ù‹ ò×~?‡bµƒ°³F)4‹•f[™5l10àêâ8”50‹ßóñ–O Р>Ιš$ËEqì·Àc­K”¼‘Wvý°§ÁøÕìY"êtÎ’ZŠdÛf8´i n5Eû®ÊL’ò¶-j©õ¤­�ìET²ÎK áÒ¤ú�É—éhˆÁ¤©†üMäUfß»ÿ�"N5ÚÕù':Øæ�Ÿ0ÙíC–ˆhQ_m˜â¸³Ýj:‡‚¡ s”BI¼FYÕ9×tÎu:Seâ8 S5Zf¨})uñ½¹]Äg&æÅ}eåoU¦6ªÉŽLï˃1>Q.8°ƒÄÖaì¬ÊÙ}*tƒÌI¶åJ%ÏJ­{‘½–›^MßÁ•ŸÑ¥«²‰Âš¨í3’Q•ÊHª+zΉW¦Ü¯Rì¸&b< �j ]á@´Š¤+YÝ÷Ï9>¶ä_­ÞMI:ñûGLõi9ì¥aÒ´>°îB ~�ïÀí•øÛ–5x°1Üa¨|xW¤m¨n&ûLËQ“±mf·gz³/Ël”À9“º’$šÙñ<îNÆNÈÔÒÔó�Haú˜i†‡â»z?g¬±íiœ}’G¤.Ñ>WGŸ{Á0X]7?1¿€î¼gË˧'~1t˜/&ŽOçãÌÙ¼aAœ» G'Í7›˺­ÌD 1¢"¢iÉGBÊAà©h(;‰™_u?³~¡¬‰i3'Û=_w Ó@Ù—ñ8hÑÄbÇ!­X*Ó£¾¢~Î>‹\à»îÃ�¨[Î^ê’øCu‘ëŒ ¸{VKcѶŒÅY¢D±Û‰jt¿-š6cÆé*¸g;Hz-`?o� Óv¯ LA/U¢ÈËÿ}x�@×h ½Æž#¹œË\è6ÅÒâ(úD¥-dÆôçÞbÆ NŒA~h™ûÁy]\:@«km½ytÔ.¢§kêü¼o†®Ã£Ã´ön0­ý/³î.²nÓvêm?›�!ÞØÑ-<�½¿wt~éi;ádÇ…Y–¢¥ôVÂ> ½üÇÙÂf+ð~p®ã®Jׇ»Üó"÷=ÜœgéÛEèòh¦RÀ¿jL,�Ø·ýÄœ љ҆?ýÕ¯·ln{N4b€¨Û3ðD±~ÎaG`–À´†wuÛÝG’á·¢}k™a YœÉµÚ³µ€kþ…öyÞ�ѤSÑÁÅ®-Dñë-g¡žªPì­¥! cQ�_�6ôˆQ¡1 ƒ$AŠ³û¶€ôÜoB^¸}ÍÁÀ7 loA'­)9§p �ùª:j”sC¶œ”TäWÁQ’NÚá¬aÐKÑWzß`¨i‹·–Œö-vxOiÖSY7î&æ䦛_ÖH0†‚tèR¸.ì�³KVavH:Íç�‚8DZ?P–†çH Ï8]±éUK~ÅÀ€‡þÀ§ÿÏ`£‘vé¬UÓ‰¼Ü�r÷ aÂÏÄ"œð�S«ÞÔÈXÏsí ©Æ;̉OS½Ëf@| ¹?3ŽA��€ë>€ÙB6¢RÝš÷³Â4jû¨)D›Ä^e‚ŠKHôÆ{=ÿ¼s:á6˜@ Øú.�–„ý ”³;0§ƒŽ©–¬eBš¿-S}à %óLØÇÑâ�UË�GtÿM“-î…“«Øl]KDFI¨p*Ñ>Q¹Hu›PR»N‚D¿AxÖ&š…ó †¼Ydÿ` +¦c endstream endobj 69 0 obj <>stream H‰l—IoÉ…ïý+òÈĚܗ¹ð``ËòѾs(�zF-Š-š‹ÿ{¿ˆY]”D~¬¬ÌÈX^D]/>Õàn¾®î�Oëùëzvëýz»~p�ÇóÉÉŸŸÏŸoñ÷ÛÏç§ãÝýç‡ãƒûîæãáû››êðö¯‡X}uÞÝüñàu¿7_Ö§§‡ÓíjK#—–%�Q¸òz;þßWî=Ž}rwÇóÇõýÉÝ­OLJ“ûîç›?®“_JôÑ]‡%^NxZïÞ­`×óùéùÖݯ«{<=~YÝÛ7ÀvŸÖ;lwwü´~\±×ã?p¯0jY̨L£¼l�K«²ûÕëõiu¯ŸÏ¿œ~xi{]B�¶_}ãŸW€óûÓû“þþt”¸wŸÏÇÛõ•û)ù·¯Üß_ÿIONK5»Ò–�»^éê_ûË?ßüèœ/¯Ü_?/ÎùùßãÝ;ì}è?¸P¯S�×¼9,¾åœ«ûíðýOoƒûíñÜÉþC=þyei¡»–ú’Rq¿Üéƒ;¹ëqÓOâþ�@%R´H5‰S|ŽŠ!(ÆÂÅzqYŠ1(ÖFêC¨>L‘‹ØžÇä,yJ EH²@°ú$X­°X‹R#µÞûÐm‚ 7ÒSÂ|±‘%=Á1rNº>ñºNÐõ¹$2î,¡[OÊm�‡Â5èöQ‘˜ºrËÆ5èi­{ÐÝÚ\>jº<†Ñž«éO]È¥�³çò`ÏKz:�ã/ò#÷ÀËÔJ™—ñê«ŒXw½;/›—Ðu¿;9VÝ/Ò—ÕýB°÷Õ—¸EÆ]ÃØK ß5rFº¸¤˜“��3bc9ù’Š±.1š)MRmŒi™WîÃÞŽY³�ýÍÀÞnP!ì”ÌYÓ¼˜c‡>-ш‹óÈæVb�;/ïX¢»_.É`‰Fö,?£ˆðˆíÙ¢ÄBñF‰•³åˆê!üÙKÑÁ­uŸRæs„"iz¬dõé¨Ù²3µ]ípáfoC±wñǬ\f¶gÍŸ0×Ç®µ$&’îô¼T^°Ïm·Ñ,c·<Òóîx0÷óÉj±½Ü(VÊM=Óë¬dfc³Â¯YY“í.±—;GÛ]â!w¶{aBÆ^_ð†Ò©n¹]¸-5\7x÷nÇÚq9ª#µûÅ’Žâ›õ¥”¸]ª/uÞ¸ËÊîÓÅ!Àj§ô&8æÓ¡OG±û xHÝÃ=‚H2ËäÇÀŸfÜ“b™iR„¦„!ûAÃ’]Â7X4yýî7�ÿ=ücߧ‚¨ìp-{-Ë­OIw‚kQáÖ«$I¡‰Ö€¤TÂlNˆ­x7cÔBjF,S“h—vß­EÊKµv¤5—#{Jeͦô¶\ u^ôŸªŠï«¹Ù³mI©¹Ég¶£¬¨uÛú¢*%L-Z\Âa�¥‡‹9Ì窥,Lë+擦֧@.lxƒ °R:á�É}XƒT{š^[®19Ò›Ò'•³olx…\Š û%ªwÔ�¾µMp¼½>RfìÔ/“ÚNu“þVÉ1ª¾H€”Sм ÃÖ§F�çD„úgKëÉÖç®\³�¦â,“˜±Ž³ø»)²šY’.°ør!ÌßÕv®Èä‚ÿç›JÁF¶¸9Ä… ¥Ó¯aLÁ®Ðq\…á¤7�ÆÄ"ȱ Jƒz 1-�E°2‹‡J>pØb@lfåÐa8ß•ñ¡gN ,îL±à‘ƒåƼM·6�y¾Bz-â…B!Ùaê–:% –=’¦P‡™\^ÆTæ|׫8yJcµ™"ÎÔ•œ=V Ã&�Yƒ¯ÛÄRmè°!¨«G±ÕR[sªZ ÖŸYGÔ,ëuU@„½·]Ýɘ`Æ…hƒBbÝÚœê™2H-“nU]9DCé"-t“‰ŠŽ9UfÛÏæÄN‰+sêT‘—ý”¹M±¢&}7’C-lÊ�Sp§HØû‰ÛþÔ¼íx^ãò Ól籵̙ظ�ã65Ý=Ì™*phñ“½/†”αÃ\-SJÜ…BšYØÉH€”‘9†ÄÚ/ßQh…U#å‹M¾ñ¬Ûà9œZé4 ‡0ë�dŠ)اUѬ²ÎÖåÛS„5Á¡ÉN'j;F%Ð)È>©‹Ä9méw£^€,÷ fíyùM­úýé 2ƒúoé…nóÕt ÷Ûת@æÀÕ*N¿7èÌ ÂË'­XƒKRl`�PbÇ�[(Syô8Ë_>o·1^ç vBò&ƒO¿\|.M•Ã*}œÝöa£ª,í3œ‰­ÈöùkäðéÀ¼PA8bõ¬Ïôk‰ý9¢�Ý33Õ+¥qeOràhb+•Ÿ¼BRÇÓ˜¢ß¸‡z1r:·Ê¯­ŠaYÅO£ªE�;ª�CdÄ�Ñ@>s$›»’h|£Z õB B¹GEBÃ_C¡!°è•€L+ü{‡˜ZZPI.¾> è¦ï ä€eêÔú C9hH'­bIÙ° ÿ¤¡]´âh¬û¿ a�Û® endstream endobj 70 0 obj <>stream H‰t—IÒ㸅÷u ]@Œ à>ƒ#¼r/|ÿ�ß�¤TÕ¯ÄO A ‡—‰uÕ¯w½~þûk]eWbïÕ8qÄ1zò<×™ÂÕLe’öáÚ¯w»JÆhĶ=8Ö!ŽÄ^:1–×­E“wßÀyí­¥Î>ÂŒö«¶%mÛìº:±—ØÔ!�l#ˆ³a�Fúî8<÷Ú½çÓˆ{.áÆßoØ`n÷Û´i*,c ÛnÄh]8º&¯m+ÏÄÓ=ya�÷†­¦ðôI¤á6ŽÙ ½va¯�8ZgÓÔY‡pÁbÄ#:k‘Bg?Wãé0§gÕèjûƒ·¿h¡á¨&«ÊlðÓ^_tfÉâø-rO“{`yüMo-ã<š\û®*ÐáÄÝä�Cx†–*:Ý€å§â Œ5¥ [œOФkÛµ–ã`À‰DÁœz3jsPtEßì]­*6{髆Œ0î¥ÑÖ3¾ŽÖ-űéüØ'‹Ê¥5Æulb4ÓV¶Œml_i¢¹«N(ìZ¶”iäB²Õ3xÍ•9ëý|>‰m85 >™à�#šlʽÇà#q¿ˆ}[»EŒÇ†÷.`o(¶8¼\A6@EfØ�Èœ&)�ì8i·�™Š c7ì ‚R3”‚c³;èV´/ SÎœƒkβžð¼×„«¸±1=T7=$oð“¨N¬°ApÓ²²½vÛT6«ø‡":! ÷32Šõ<02£üŒýù &¾ã7&\^ž§'ÉÊ÷#Çÿóë_¿þ÷ª/R}!à @íµ:Õ3^ÿþKý‚·KÕÔ쓉¬ 2‘›¥¤ ‹§g*ðœ×IÓHoЮ "«Î¥”¦Ü qäyšTVÎÉZîÊðFp‚­ý`æ3ØÙPÀ«Ms½¿oMïS}�"$^DFiòAP�%˜oî¾à~�û‡?\B`6ÊŇ–ñ‚(ɵoéçïôL-ß�?xtÅåê8#¶ûx‘€C3¯ }ˆœx (ö÷«P鑪žÅyE!¤U2SBï´æò®yŒ@ªŒ’áêêò1ü¤GJ dOS¡W~¡,‘º ø­cª&„m:V¼®Ï�¢Ï­Ýí¥j•í”¨C_ØÓéÖ´é�SGÕfNñ ?LlÕÉ8´�£¯d…ù JÊýnÖ�*ÙVÑýÙŠ„¿Ã%pÇ'›.áïÌDžƒê^éX²›u·t�µÖ•Â»è‘Q¿{%uöwû‚U¼Ì”¿K³ÐO$aÊF¨(&à­5T²†²Àó'£EY¦€Ñ¡È¸öܺºÓÔ‰ÓÙ)=ƒP87íÉk�D,{·-´"Õ&7…§ä"ÖØ Kã&V'0$¹µ—ÛÒÅ›“JSí4ÇÛ¢7?¬õg²[Š¿¡ìS>?¤Ý Ñ-¤�0ÒŽÅ8…´K/*ÓÁØ�×#%®‡%ü A ¿³¤‚gøÐÆ°Ê2¬žE fÁ–¦Š=Á;ËĶ*ÑL]”ʲ‚_4G»K8[XÄ!Òæ&.ü¦5Y¥Ô/°»…ÏðW®ÉWeÆiP=„ßõ3µ*ƒ¼ª _ˆ¤PJrÁ²k! }‰·Ž¯ß7b!²?²å`�®M;x0íÙ)uíEØñ]6Š‘Ñ„ÀEÎ{�¾n°oLd¶ �É@D5h™úP7¡ßQ±J¹Òí¢ÛiŒÒ¹6d8ÉùOáˆq5Ûk ÏÆUÀá£tx@bœaQði‰/õÿ-—Ú§e£Sy“Éè`—¦:2-Ä�×6¸ÄÊÛ©�Wv*�Wœ¼0°£âú;{�ÉVe7{ßk™ß‚}wVêsî–ìÁH:ãÓ3'ÂÛ½#ûbÿ`ù§Ä®]K–¬¿uH,Ë©ªÆ¯£B²Ìk]û¦j_+1xÉÓ�öÁ®bâN€w>w>®ÏÀé…Kõq[‰¸ªjÒ�{/Ègn|^ ýW„Zœ”¸ø;¶Soqü‚ÂuG>dÕb’¢ÛˆõŽÑF¬q«7òªtn-Íþz`�Ÿ =»_e� –¬-øÌDÚŸ§´@³ÍRÝAò$À¬Œ_Ë·—¬fLãs—(…H6Ý識¤¼ŸØ+w-bù~ßû¨êºòtTÇ­’ü•×ª„UÒwîº~ô\«R£5hå¯ü…!ëÕyJ™Îâ-éE‡£ç åÝ­ê~«˜R’VjoæoR”^çánºÑ|’‰-‹ÇtGº.þùéšÿBe‡_ãÆ⤎ �y_qoû{fÜ´ {ç×:Å·ÖÔ€è¹}^К­ól¹KöïBÜG»¼êR‰ž-u£©ùö(.PïãEŠH]Ìн¹ jütƒJÝ=-Õ~ù™µ×^i¿òˆýœ%O²Êÿ3˜‹{!$}0&é?¯Í}‘Ô´2BÁ¬ûÌëÿ ¸[¸ä endstream endobj 71 0 obj <>stream H‰|—K’7D÷:E_`*�àç>ƒ#¼²¾ÿÆ™ TuËòx#õ²Hü~ÙÕm¿âêñúóÇ—]±�´ ÷"á_�_¶¸8ëjúî'h{絆â8F\=ÑOmc'ZÓª‘â:a¯q�™´=@{GâZ± sµ¾œZ\q ûÎS{c:0ö(4^3F<Ö ú¹qrÕºŽóê×½°Oàú Xê¤ÈÒ™x|p¿>Ö< ¨eì^Žï¡u:àò¾AkÙsŸ!`ó†n4NžÙ'©§Ï%µá†Ü9ö•`h–êMl„Ì FAšäQs­‚½öëšÃK☞Vn0ò¢ücˆÐkX¹ÇI=Ê•ñyù._ ä#ô+ ¨!»¤—¤²°*.PX±–8¥¥]aDw� $ÛtëvHm`Ï´xÿ„ Q¾xòæÎöªK}¾n¡aúýJÃËvÆ5oåøU‚µWÿüøíÇß/{‘àÔ*Z^e÷ïiá/^8agªŽ\="E¢¨}wœ³ˆŒÿ]ô„R>‘±R¹Ÿ…ùkëìÊkuÍlr±Ï}'oÈ©QE 2»æ'ÂÈmd²Mè6¾³ç`)tØsÃÑþ“=�/Å=f d’³ý^�±ïW¬ñ2Æ&È6Ï;éP¥g'.i /¿spo˜à�GÃboyòþö!ŠªnZºíOÔå0O¹Å´˜Mã0ý3ß¾Ôó3;»øã=jQ<-êñ�R÷Î̯Êú»Š3ûï<Í:öøU ‹i›½b)Û̲-±üÒÉ­:˜)q{uÌƆf7N­†å=Mñ0Ë1¬ºÕº…yÒɉ+Q®Tlò æHVe<5BxüÂßæä\ȸõw ]þÇg†Ôôê�ÀLþ§µ€çg«¯lRìßÚ²€‘B†±ëÎj?›lVßw\ö‡—¸·º`Ô$¯:ŸÃ%xÌ*‘ëáU 3?ñ®"äYéÁ’^Vçm“|ó`íÞV3ck:}ßC£™¾ÞûžC_Ÿ^

PSIM Jogja berhasil mengalahkan Persipa Pati di kandang sendiri di lanjutan Liga 2 2024/2025. Laga ini berakhir dengan skor 1-0 untuk Laskar Mataram.

Laga PSIM Jogja vs Persipa Pati dihelat di Stadion Mandala Krida, Kota Jogja pada Minggu (15/12/2024). Kick off pukul 15.00 WIB.

Anda mungkin ingin melihat